Khamis, 24 April 2014

Kopi dan Gula edisi 2


Fadhilat Solat Dhuha


Fadhilat Solat Dhuha

Kelebihan Sembahyang Dhuha
Berkata Abu Murrah Ath-Tha’ifi r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda : Allah telah berfirman:
“Wahai anak Adam! Bersembahyanglah untuk Aku di awal pagi, niscaya Aku akan mencukupimu di akhirnya.”(Riwayat Ahmad)
Hadis Qudsi ini menganjurkan kita mengerjakan Solat Dhuha yang mana antara faedahnya, Allah Ta’ala memberi jaminan akan melaksanakan segala keperluan-keperluan keduniaan manusia setiap hari.
Antara ibadat sunat yang dianjurkan dan menjadi amalan Rasullullah SAW sendiri ialah solat sunat Dhuha. Banyak hadis-hadis yang mengalakkannya dan menyatakan keutamaannya, antaranya dalam riwayat Abu Hurairah katanya:
“Kekasihku Rasullullah SAW telah berwasiat kepadaku tiga perkara, aku tidak meninggalkannya, iaitu ; supaya aku tidak tidur melainkan setelah mengerjakan witir, dan supaya aku tidak meninggalkan dua rakaat solat Dhuha kerana ia adalah sunat awwabin, dan berpuasa tiga hari daripada tiap-tiap bulan”(Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain Rasullullah SAW pernah bersabda yang maksudnya :
“Pada tiap-tiap pagi lazimkanlah atas tiap-tiap ruas anggota seseorang kamu bersedekah; tiap-tiap tahlil satu sedekah, tiap-tiap takbir satu sedekah, menyuruh berbuat baik satu sedekah, dan cukuplah (sebagai ganti) yang demikian itu dengan mengerjakan dua rakaat solat Dhuha .”(Hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun kelebihan sembahyang Dhuha itu sepertimana di dalam kitab “An-Nurain” sabda Rasullullah SAW yang maksudnya : “Dua rakaat Dhuha menarik rezeki dan menolak kepapaan."
Dalam satu riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa yang menjaga sembahyang Dhuhanya nescaya diampuni Allah baginya akan segala dosanya walaupun seperti buih dilautan.”(Riwayat Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dan daripada Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata: “Barangsiapa yang mengerjakan sembahyang sunat Dhuha dua belas rakaat dibina akan Allah baginya sebuah mahligai daripada emas”(Riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Waktu sembahyang Dhuha ialah dari naik matahari sampai se-penggalah dan berakhir di waktu matahari tergelincir tetapi disunatkan dita’khirkan sehingga matahari naik tinggi dan panas terik.
Cara menunaikannya pula adalah sama seperti sembahyang-sembahyang sunat yang lain iaitu dua rakaat satu salam. Boleh juga dikerjakan empat rakaat, enam rakaat dan lapan rakaat. Menurut sebahagian ulama jumlah rakaatnya tidak terbatas dan tidak ada dalil yang membatasi jumlah rakaat secara tertentu, sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bermaksud :”Adalah Nabi SAW bersembahyang Dhuha empat rakaat dan menambahnya seberapa yang dikehedakinya.” (Hadis riwayat Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah)
Dalam sebuah hadis yang lain Nabi SAW bersabda bermaksud : ” Barangsiapa yang menunaikan sembahyang sunat Dhuha sebanyak dua rakaat tidak ditulis dia daripada orang-orang yang lalai daripada mengingati Allah dan barangsiapa yang menunaikan nya sebanyak empat rakaat ditulis akan dia daripada orang-orang yang suka beribadat dan barangsiapa yang menunaikannya sebanyak enam rakaat dicukupkan baginya pada hari tersebut, barangsiapa menunaikanyan sebanyak lapan rakaat Allah menulis baginya daripada orang-orang yang selalu berbuat taat, barang siapa yang menunaikannya sebanyak dua belas rakaat Allah akan membina baginya mahligai didalam syurga dan tidak ada satu hari dan malam melainkan Allah mempunyai pemberian dan sedekah kepada hamba-hambaNya dan Allah tidak mengurniakan kepada seseorang daripada hamba-hambaNya yang lebih baik daripada petunjuk supaya sentiasa mengingatiNya,” (Riwayat At-Thabarani ).

Ahad, 20 April 2014

10 Silap Besar Yang Dilakukan Oleh Isteri Terhadap Suami


10 Silap Besar Yang Dilakukan Oleh Isteri Terhadap Suami


10 Silap Besar Yang Dilakukan Oleh Isteri Terhadap Suami
Rumahtangga adalah satu bentuk hubungan mesra diantara seorang lelaki dan wanita sebagai suami dan isteri dalam perjalanan menuju kebahagiaan dalam kehidupan dan untuk mendapatkan redha Allah.

Tetapi ramai yang tidak menyedari akan beberapa perkara yang merupakan satu kesilapan besar dilakukan oleh isteri terhadap suami mereka.

Antara kesilapan tersebut adalah seperti berikut:


1. Menuntut keluarga yang ideal dan sempurna

Sebelum menikah, seorang wanita membayangkan pernikahan yang begitu indah, kehidupan yang sangat romantis sebagaimana ia baca dalam novel maupun ia saksikan dalam sinetron-sinetron.

Ia memiliki gambaran yang sangat ideal dari sebuah pernikahan. Kelelahan yang sangat, cape, masalah keuangan, dan segudang problematika di dalam sebuah keluarga luput dari gambaran nya.

Ia hanya membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam sebuah perkawinan.

Akhirnya, ketika ia harus menghadapi semua itu, ia tidak siap. Ia kurang bisa menerima keadaan, hal ini terjadi berlarut-larut, ia selalu saja menuntut suaminya agar keluarga yang mereka bina sesuai dengan gambaran ideal yang senantiasa ia impikan sejak muda.

Seorang wanita yang hendak menikah, alangkah baiknya jika ia melihat lembaga perkawinan dengan pemahaman yang utuh, tidak sepotong-potong, romantika keluarga beserta problematika yang ada di dalamnya.

2. Nusyus (tidak taat kepada suami)

Nusyus adalah sikap membangkang, tidak patuh dan tidak taat kepada suami. Wanita yang melakukan nusyus adalah wanita yang melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak ridha pada kedudukan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan untuknya.

Nusyus memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah:


  • Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ke tempat tidur, dengan terang-terangan maupun secara samar.
  • Mengkhianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain.
  • Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami ke dalam rumah
  • Lalai dalam melayani suami
  • Mubazir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya
  • Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya
  • Keluar rumah tanpa izin suami
  • Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami.

Seorang istri shalihah akan senantiasa menempatkan ketaatan kepada suami di atas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan dalam kedurhakaan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan taat kapan pun, dalam situasi apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka.

Ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan cinta dan memelihara kesetiaan suami.

3. Tidak menyukai keluarga suami

Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada dirinya. Tak boleh sedikit pun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya. Termasuk juga kepada orang tua suami.

Padahal, di satu sisi, suami harus berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya.
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu mertuanya.

Ia menganggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang, sebagian istri berani menghina dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya.

Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan suatu masalah, bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami.

Ada juga seorang istri yang menuntut suaminya agar lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari keluarganya dengan berbagai cara.

Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga ‘pernikahan antar keluarga’. Kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah keluarga istri, demikian sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam kelurga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami.

4. Tidak menjaga penampilan

Terkadang, seorang istri berhias, berdandan, dan mengenakan pakaian yang indah hanya ketika ia keluar rumah, ketika hendak bepergian, menghadiri undangan, ke kantor, mengunjungi saudara maupun teman-temannya, pergi ke tempat perbelanjaan, atau ketika ada acara lainnya di luar rumah.

Keadaan ini sungguh berbalik ketika ia di depan suaminya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor, cukup hanya mengenakan pakaian seadanya: terkadang kotor, lusuh, dan berbau, rambutnya kusut masai, ia juga hanya mencukupkan dengan aroma dapur yang menyengat.

Jika keadaan ini terus menerus dipelihara oleh istri, jangan heran jika suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah. Semestinya, berhiasnya dia lebih ditujukan kepada suami Janganlah keindahan yang telah dianugerahkan oleh Allah diberikan kepada orang lain, padahal suami nya di rumah lebih berhak untuk itu.

5. Kurang berterima kasih

Tidak jarang, seorang suami tidak mampu memenuhi keinginan sang istri. Apa yang diberikan suami jauh dari apa yang ia harapkan. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan suami, meskipun suaminya sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan keinginan-keinginan istrinya.

Istri kurang bahkan tidak memiliki rasa terima kasih kepada suaminya. Ia tidak bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepadanya lewat suaminya. Ia senantiasa merasa sempit dan kekurangan. Sifat qona’ah dan ridho terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya sangat jauh dari dirinya.

Seorang istri yang shalihah tentunya mampu memahami keterbatasan kemampuan suami. Ia tidak akan membebani suami dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Ia akan berterima kasih dan mensyukuri apa yang telah diberikan suami. Ia bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya, dengan bersyukur, insya Allah, nikmat Allah akan bertambah.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”

6. Mengingkari kebaikan suami

“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.”

Demikian disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari.

Ajaib !! wanita sangat dimuliakan di mata Islam, bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi?

“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika para sabahat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Apakah mereka mengingkari Allah?

Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa, kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya. Demikian penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari (5197).

Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!!

Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam neraka. Mari kita lihat diri setiap kita, kita saling introspeksi , apa dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita?

Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku.

Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami, mengingkari kebaikan-kebaikannya,  maka berhati-hatilah dengan apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bertobat,  satu-satunya pilihan utuk terhindar dari pedihnya siksa neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di kerongkongan,  masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut?

Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai saudariku; kejarlah ajalmu,  bukankah engkau tidak tahu kapan engkau akan menemui Robb mu?

“Tidaklah seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami begimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At Tirmidzi, hasan)

Wahai saudariku, mari kita lihat, apa yang telah kita lakukan selama ini , jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi diri,  jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa kita kepada neraka, yang kedahsyatannya tentu sudah Engkau ketahui.

Jika suatu saat, muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami; janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan.

“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.Ahmad)

7. Mengungkit-ungkit kebaikan

Setiap orang tentunya memiliki kebaikan, tak terkecuali seorang istri. Yang jadi masalah adalah jika seorang istri menyebut kebaikan-kebaikannya di depan suami dalam rangka mengungkit-ungkit kebaikannya semata.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” [Al Baqarah: 264]

Abu Dzar radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia dimana Allah tidak akan berbicara dan tak akan memandang mereka pada hari kiamat. Dia tidak mensucikan mereka dan untuk mereka adzab yang pedih.”

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sebanyak tiga kali.” Lalu Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka yang rugi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang menjulurkan kain sarungnya ke bawah mata kaki (isbal), orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikannya dan orang yang suka bersumpah palsu ketika menjual. ” [HR. Muslim]

8. Sibuk di luar rumah

Seorang istri terkadang memiliki banyak kesibukan di luar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya.

Jangan sampai aktivitas tersebut melalaikan tanggung jawab nya sebagai seorang istri. Jangan sampai amanah yang sudah dipikulnya terabaikan.

Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap, anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika hni terjadi terus menerus, bisa jadi suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar atau di kantor.

9. Cemburu buta

Cemburu merupakan tabiat wanita, ia merupakan suatu ekspresi cinta. Dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan wajar bila seorang istri merasa cemburu dan memendam rasa curiga kepada suami yang jarang berada di rumah. Namun jika rasa cemburu ini berlebihan, melampaui batas, tidak mendasar, dan hanya berasal dari praduga; maka rasa cemburu ini dapat berubah menjadi cemburu yang tercela.

Cemburu yang disyariatkan adalah cemburunya istri terhadap suami karena kemaksiatan yang dilakukannya, misalnya: berzina, mengurangi hak-hak nya, menzhaliminya, atau lebih mendahulukan istri lain ketimbang dirinya. Jika terdapat tanda-tanda yang membenarkan hal ini, maka ini adalah cemburu yang terpuji. Jika hanya dugaan belaka tanpa fakta dan bukti, maka ini adalah cemburu yang tercela.

Jika kecurigaan istri berlebihan, tidak berdasar pada fakta dan bukti, cemburu buta, hal ini tentunya akan mengundang kekesalan dan kejengkelan suami. Ia tidak akan pernah merasa nyaman ketika ada di rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, kejengkelannya akan dilampiaskan dengan cara melakukan apa yang disangkakan istri kepada dirinya.

10. Kurang menjaga perasaan suami

Kepekaan suami maupun istri terhadap perasaan pasangannya sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik, kesalahpahaman, dan ketersinggungan.

Seorang istri hendaknya senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti perasaan suami, ia mampu menjaga lisannya dari kebiasaan mencaci, berkata keras, dan mengkritik dengan cara memojokkan. Istri selalu berusaha untuk menampakkan wajah yang ramah, menyenangkan, tidak bermuka masam, dan menyejukkan ketika dipandang suaminya.

Demikian beberapa kesalahan-kesalahan istri yang terkadang dilakukan kepada suami yang seyogyanya kita hindari agar suami semakin sayang pada setiap istri. Semoga keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.

Aamiiin.

Semoga bermanfaat
(Sumber MyBuletin)

Rabu, 16 April 2014

Kenapa Ketika Kentut Yang Dibasuh Bukan Duburnya ?


Kenapa Ketika Kentut Yang Dibasuh Bukan Duburnya ?

Soal: Assalamu’alaikum, mau Tanya, kentut adalah salah satu perkara yang membatalkan wudhu, namun kenapa saat kentut yang dibasuh bukan tempat keluarnya? Mohon dijelaskan..

(Pertanyaan dari: Ragiel Benagung‎)

Jawab: wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh


Untuk menjawab pertanyaan diatas akan kami paparkan penjelasan dari Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi yang menjelaskan mengenai hikmah dibalik hukum tersebut, dalam kitab beliau, Hikmah At-tasyri’ wa Falsafatuh, berikut penjelasan beliau:

“Mungkin ada orang yang menanyakan, mengapa saat buang angin (kentut) yang merupakan salah satu sebab batalnya wudhu yang dibasuh bukan anggota badan tempat keluarnya angin yang menjadi sebab wudhu harus diulangi lagi dengan cara ini, sedangkan yang dibasuh adalah anggota-anggota badan yang lain yang tak ada kaitannya dengan sebab batalnya wudhu.
Maka kami katakan; sesungguhnya angina yang keluar dari tempat tersebut sama sekali tak berpengaruh secara dhohir, sehingga bisa kita bisa mengatakan bahwa bekasnya telah hilang ketika dibasuh. Selain itu bagian keluarnya angina tersebut tidak termasuk bagian-bagian yang biasa dilihat, sehingga perlu dibasuh, sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dibasuh saat wudhu.

Hanya saja ketika angina tersebut keluar anggota badan terasa lemas disertai dengan adanya bau yang tidak sedap, maka anggota-anggota badan yang dibasuh ketika wudhu yang dibasuh dengan tujuan untuk menghilangkan kemalasan yang ditimbulkan keluarnya angina tersebut. Yang dibasuh bukan anggota tubuh tempat keluarnya angina tersebut sebab anggota tubuh tersebuh ketika dibasuh atau diusah tidak menjadikan pulihnya semangat dan hilangnya lemas yang dirasakan.

Hal diatas jika dilihat dari sudut pandang wudhu sebagai cara untuk menghilangkan kotoran yang nampak (najasah mahsusah) dan hal lain yang berkaitan hukumnya dengan itu.

Sedangkan dipandang dari segi hukum yang berkaitan dengan menghilangkan kotoran yang tidak nampak (najis maknawiyah); ketika angin tersebut keluar dari dalam tubuh, hal tersebut sama saja dengan keluarnya penyakit dari manusia jika tertahan didalam tubuh aakan sangat membahayakan manusia, jadi keluarnya angina tersebut merupakan obat dari penyakit tersebut. Dari sudut pandang inidisyariatkannya wudhu dengan cara ini merupakan wujud syukur kepada Allah ta’ala yang telah memberi kenikmatan berupa keluarnya angina tersebut.”

Wallahu a’lam.

(Dijawab oleh: Siroj Munir)

Jumaat, 11 April 2014

Fiqh Kontemporer : Cara Memusnahkan Mushaf Al-Qur’an Yang Rosak

Cara Memusnahkan Mushaf Al-Qur’an Yang Rosak

Menurut Prof. DR. H. Ahmad Zahro, M.A.
Cara Memusnahkan Mushaf Al-Qur’an Yang Rusak
     Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diterima oleh Rosulullah SAW dari Allah SWT melalui malaikat Jibril AS dan sampai kepada umat islam secara mutawatir (aklamatif). Semula kalam Allah SWT dalam al-Qur’an berupa bahasa arab lisan kemudian Rasulullah SAW menyuruh beberapa sahabat untuk menuliskannya dimedia tulis yang ada pada waktu itu, seperti pelepah kurma, batu, kulit atau tulang binatang dan lain-lain, namun tidak tertata rapi melainkan berpencar di masing-masing sahabat yang menulisnya.
Tetapi Rasulullah SAW sendiri dan banyak sahabat yang hafal seluruh al-Qur’an. Pada zaman Abu Bakar RA tulisan-tulisan al-Qur’an yang masih berserakan itu dikumpulkan menjadi onggokan-onggokan yang berisi  al-Qur’an secara lengkap. Kemudian pada zaman Usman RA tulisan al-Qur’an di onggokan tersebut dipindahkan total dengan menulis ulang dilembaran kertas dari cina, menjadi lembaran-lembaran (mush-chaf) al-Qur’an dan terkenal dengan mush-chaf al-Imam (mush-chaf induk). Semua tulisan al-Qur’an selain mush-chaf al-Imam dimusnahkan, bahkan diawal pemerintahan Daulah Bani Umaiyyah (pada zaman Marwan bin Hakam) onggokan al-Qur’an zaman Abu Bakar juga dimusnahkan dengan cara membakarnya, dengan alasan agar tidak lagi terjadi  macam-macam model penulisan dan pembacaan yang menimbulkan khilafiyah yang tajam.
     Dari mush-chaf al-Imam itulah kemudian dinukilkan secara cermat dan persis ke dalam milyaran mush-chaf al_qur’an yang tersebar diseluruh dunia Islam (yang kemudian popular dengan mushchaf Usmaniy dikalangan Sunniy, dan mushchaf Aliy di kalangan Syi’iy). Perlu ditegaskan disini, bahwa yang disebut al-Qur’an adalah isinya, sedang lembar-lembar kertasnya disebut mushchaf. Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) sepakat bahwa orang yang berhadas kecil apalagi berhadas besar hukumnya haram menyentuh mushchaf al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT: “Sungguh al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak boleh menyentuhnya kecuali mereka suci (dari hadas kecil dan besar)” (al—Waqiah ayat 77-79).
     Oleh karena mushchaf al-Qur’an ini adanya beberapa tahun sesudah Nabi SAW (zaman beliau belum ada mushchaf) maka keseluruhan pendapat tentang mushchaf al-Qur’an ini adalah ijtihadiy (produk pemikiran ulama) yang kemudian menjadi kesepakatan umat islam. Ada beberapa hal yang disepakati oleh para ulama al-Qur’an terkait dengan tata kerama dan penghormatan (bukan pengkultusan) kepada mushchaf al-Qur’an, antara lain:

  1. Hanya umat islam yang boleh menyentuh dan memegang mushchaf al-Qur’an; non muslim tidak diperbolehkan
  2. Hanya umat islam yang suci dari hadas besar dan hadas kecil yang boleh menyentuh dan memegang mushchaf al-Qur’an, kecuali dalam keadaan darurat
  3. Tidak boleh membawa mushchaf al-Qur’an dengan posisi dibawah pusar
  4. tidak boleh menaruh mushchaf al-Qur’an ditempat rendah yan tidak terpelihara
  5. Tidak boleh menaruh benda apapun diatas mushchaf al-Qur’an
  6. Tidak boleh merusak atau membakar mushchaf alQur’an yang masih utuh
  7. Tidak boleh melakukan tindakan yang bernuansa menghina mushchaf al-Qur’an, seperti menginjak, meludahinya, apalagi mengencinginya.
     Nah bagaimana dengan mushchaf al-Qur’an yang rusak (karena terlalu tua usianya/tidak terawat) atau sobek-sobek. Apakah kita harus tetap merawat mushchaf al-Qur’an yang rusak itu, membakarnya, ataukah memendamnya.
     Pada zaman Usman RA pernah terjadi  pembakaran lembaran-lembaran al-Qur’am selain mushchaf al-Imam (waktu itu hanya ada enam eksemplar), begitu juga pada zaman Marwan bin Hakam terjadi pembakaran onggokan al-Qur’an yang dikumpulkan pada zaman Abu Bakar. Pembakaran dilatarbelakangi keinginan agar tidak terjadi perbedaan yang tajam antara umat islam dalam hal penulisan dan pembacaan al-Qur’an. Sehingga dari kejadian tersebut, maka jika terdapat lembar-lembar al-Qur’an yang rusak atau sobek-sobek, cara terbaik adalah membakarnya sehingga tak berbekas lagi; bukan memendamnya karena kalau hanya dengan memendamnya tulisan al-Qur’an yang ada akan lama hilangnya; bukan pula menyimpannya di gudang karena terkesan menyia-nyiakan dan lagi tulisannya masih ada tetapi tidak akan dibaca untuk selamanya.
     Tetapi pemusnakan mushchaf al-Qur’an dengan pembakaran ini jangan dijadikan dasar pembenaran bagi apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir diamerika beberapa waktu yang lalu. Tindaka mereka membakar mushchaf al-Qur’an jelas-jelas dimaksudkan sebagai tindakan balas dendam dan pelecehan terhadap umat islam dan isi ajaran al-Qur’an yang mereka tuduh sebagai biang dari terorisme, suatu anggapan bodoh dan sesat menyesatkan. Jangankan membakar mushchaf al-Qur’an dengan tujuan jahat seperti itu, sedang umat islam sendiri juga diharamkan membakarnya apabila mushchaf al-Qur’an tersebut masih utuh dan dapat dipergunakan.
     Mushchaf al-Qur’an, disamping sebagai kitab suci yang berisi firman Allah SWT, juga merupakan salah satu simbol kehormatan umat islam, sehingga mushchaf al-Qur’an amat dihormati sampai-sampai amat banyak umat islam yang menjadikan mushchaf al-Qur’an sebagai “media” angkat sumpah dengan memposisikan diatas kepala orang yang sedang disumpah. Walaupun secara tekstual tidak ada dalil yang dapat dijadikan rujukannya, tetapi kesepakatan umat islam cukuplah menjadi alasan. Hal ini dapat didasarkan pada kaidah ushul fiqih: “al-Aadah muchakkamah” (kebiasaan baik umat islam itu dapat menjadi dasar pertimbangan penetapan hukum).
Wallaahu a’lam

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...