Isnin, 25 Oktober 2010

Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi Tua

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.

Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.

“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.

Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.

Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.

“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.

Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.

Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.

Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.

“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

Ahad, 24 Oktober 2010

Memuliakan tetamu(http://ii.islam.gov.my/hadith/hadith1.asp?keyID=782)

Hadith :
Dari abu Hurairah r.a katanya:”Rasulullah SAW bersabda:” Sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Dan sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, hendaklah dia memuliakan tetamunya. Dan sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
(Muslim)

Huraian
Tetamu, secara pasti datang dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam konteks inilah Allah dengan tegas membuat pertimbangan yang begitu besar agar memuliakan tetamu dan meletakkan nilainya sama dengan Beriman Kepada Allah dan Hari Kemudian (kiamat). Dengan perkataan lain seseorang itu belum disebut beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, selama ia tidak memuliakan tetamunya. Oleh itu apabila tetamu datang, bagaimana pun bentuk dan rupa tetamu itu, sama ada kaya, miskin, Islam ataupun kafir, Allah memerintahkan kita agar memuliakan mereka. Pernah diriwayatkan bahawa Nabi Sulaiman a.s pernah ditegur oleh Allah SWT, kerana pada saat baginda didatangi seorang tetamu dari kaum kafir, baginda tidak sepenuh hati memuliakan tetamunya itu. Baginda merasa tidak perlu memuliakan dan menghargai tetamunya seperti baginda memuliakan dan menghargai tetamunya dari sesama pengikutnya. ‘Disebabkan ia bukan umatku yang beriman’, begitulah fikir Nabi Sulaiman. Lantas baginda hanya memberinya minum dan bercakap seadanya. Setelah tetamu itu pulang, datanglah malaikat Jibril a.s menyampaikan teguran Allah: "Wahai Nabi Allah, Allah menegurmu, mengapa engkau perlakukan tetamu seperti itu ? Jawab nabi Sulaiman:”Bukankah dia (tetamu itu) dari golongan kafir?" Jibril bertanya:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ini?" "Allah!" Jawab Nabi Sulaiman penuh yakin. "Siapakah yang menciptakan malaikat, jin dan manusia?" "Allah!" "Siapakah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dan haiwan-haiwan?" "Allah!" "Siapakah yang menciptakan orang kafir itu?" "Allah!"
"Lalu, berhakkah engkau berlaku tidak adil terhadap ciptaan Allah? Sementara Allah adalah zat Yang Maha Adil?" Nabi Sulaiman a.s terdiam dan terus bersujud.
"Ya, Allah! Ampunilah hamba-Mu yang telah berbuat zalim ini." Kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah:”Wahai nabi Allah, datangilah dan pohonlah kemaafan kepada orang itu. Ampunan Allah tergantung daripada kemaafannya.". Bergegaslah Nabi Sulaiman mencari tetamunya tadi. Setelah bertanya ke sana ke mari dan mencari-cari, ternyata, tetamunya itu sudah jauh berjalan meninggalkan kota. Nabi Sulaiman a.s dengan pantas mengejar tetamunya itu. Setelah bertemu, dan dengan nafas yang masih termengah-mengah, baginda berkata: "Saudara, tunggu...!" Tetamu tadi menoleh dan hairan melihat keadaan Nabi Sulaiman. "Kenapa?" "Saudara... sudikah engkau memaafkan perlakuan saya , ketika mana saudara menjadi tetamu di rumah saya tadi?" Orang itu diam. Dalam hatinya, sebenarnya dia merasa wajar diperlakukan seperti itu, kerana dia memang bukan termasuk di dalam golongan pengikut Nabi Sulaiman. Dia tidak menerima ajaran Tauhid yang dibawa oleh baginda. Tetapi dia terus juga bertanya: "Kenapa, wahai Sulaiman?" "Allah menegurku, setelah engkau pulang dari kediamanku."
"Allah? Siapakah dia?" Tetamu itu bertanya. "Allah adalah Tuhan, Tuhan Kami dan Tuhan Engkau, Yang menciptakan langit dan bumi, dan semua isinya. Dia yang menciptakan malaikat, jin dan manusia. Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya."
"Lalu, kenapa Dia menegurmu?" "Allah menegurku, kerana aku sudah tidak berlaku adil terhadapmu. Aku tidak memuliakanmu. Allah yang Maha Kuasa selalu bersifat adil terhadap semua hamba dan ciptaan-Nya, mengapa aku berlaku tidak adil terhadapmu?"
"Sebegitukah Tuhanmu wahai Sulaiman, memperlakukan aku, walaupun aku bukan dari golonganmu?" Tetamu itu bertanya penuh taajub ."Iya...! Maafkan sikapku tadi wahai saudara, ampunan Allah tergantung dengan kemaafanmu" Nabi Sulaiman meminta.
"Saksikanlah, wahai Sulaiman! Asyhadu alla ilaa ha illallah, Wa anta Rasulullah!" Orang itu memeluk nabi Sulaiman a.s. Nabi Sulaiman pun memeluk tetamunya itu dengan penuh rasa terharu.

Selasa, 17 Ogos 2010

R.A.M.A.D.H.A.N

Bismillahirrahmanirrahim

Salam ukhuwah,
"Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu,supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa." (S.al-Baqarah:183)

Alhamdulillah..hari ini genaplah hari ke-7 kita menunaikan ibadat puasa yg merupakan asas daripada rukun islam. Puasa ertinya menahan diri, dan pada syarak maksudnya menahan diri daripada segala yang membatalkan puasa, mulai dari masa terbit fajar hingga tenggelam matahari disertakan dengan niat. Puasa di bulan Ramadhan adalah mengenai iman dan taqwa seperti yang disebutkan pada permulaan dan pengakhiran ayat 183 dari surah al-Baqarah. Iman dan taqwa bukanlah boleh diwarisi, bukan juga dijual beli, tetapi berada di sanubari. Kita lah yang membentuknya, kita lah yang mendidiknya, insyaAllah kita lah jua yang akan memilikinya. Akan tetapi, berimankah atau bertaqwakah kita?

Disebutkan dalam al-Qur'an, bahawa Tuhan menyeru orang yang beriman agar mencapai darjat ketaqwaan. Ini kerana, orang yang beriman, belum tentu dapat mencapai darjat ketaqwaan. Tapi, orang yang bertaqwa, sudah pastilah mereka beriman.

"Wahai orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah kamu mati melainkan berada dalam Islam."
(Ali Imran: 102)

Juga kepada orang yang beriman itu, Allah s.w.t meminta mereka bertaqwa dengan cara menyatakan perkara yang benar walaupun pahit didengar. Ini kerana, orang yang beriman pun belum tentu dapat menyatakan perkara yang benar.

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, maka Allah memperbaiki bagi amalan-amalanmu, dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.."(Al-Ahzab: 70 - 71)

Kita seharusnya bersyukur berada dalam bulan Ramadhan yang penuh keberkatan ini kerana Allah memberi kita peluang untuk memperbaiki diri menjadi hambanya yang lebih beriman dan lebih bertaqwa dengan cara melatih diri dan menahan nafsu dari makan dan minum, mencampuri isteri, dan menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia seperti; berkata bohong, membuat fitnah dan tipu daya, berburuk sangka dan melakukan maksiat.

Alangkah beruntungnya hati mereka yang beriman dengan kedatangan bulan ramadhan ini, walaupun ada yang tewas dengan nafsunya dan tidak kurang pula yang beranggapan ibadat puasa hanya menahan diri dari makan dan minum sahaja. Bagaimana pula dengan diri kita?

Daripada Abu Hurairah r.a. katanya bahawa Nabi s.a.w. bersabda:
“Sesiapa yang tidak meninggalkan percakapan bohong dan berkelakuan buruk sedangkan ia berpuasa, baginya tidak ada kelebihan (pahala) di sisi Allah selain dari lapar dan dahaga sahaja yang didapatinya.”
(al-Bukhari)

Ramadhan mempunyai fadilat yang amat besar sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. dengan sabda baginda
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang bererti
:

"Sesungguhnya akan datang kepada kamu bulan Ramadhan bulan yang diberkati, Allah mewajibkan kamu berpuasa di dalamnya. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu syurga, dikunci semua pintu neraka, dibelenggu semua syaitan. Di malamnya ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang tidak memperolehi kebajikan pada malam itu berertilah diharamkan baginya segala kebaikan untuk dirinya."

Rasulullah s.a.w. juga mengucapkan kepada para Sahabat ucapan yang bermaksud:

"Telah datang kepada kamu bulan Ramadhan Penghulu segala bulan , maka selamat datanglah kamu kepadaNya. Maka telah datang bulan puasa membawa segala macam keberkatan. Oleh yang demikian muliakan tetamu yang datang itu dengan seberapa baik."

Sebagai umat islam, kita digalakkan berusaha meninggkatkan amalan terutamanya di dalam bulan Ramadhan yang penuh keberkatan ini. Antaranya :
-menunaikan solat fardhu 5waktu sehari semalam,
-melakukan solat-solat sunat seperti terawikh, tahajjud, hajat dan witir.
-banyakkan mengingati Allah dengan cara membaca dan mentadabbur Al-Quran dan berzikir.
-bersedekah,
-berdoa dan memohon keampunan atas dosa-dosa lalu,
-menyampaikan syariat Islam
-mengeratkan silaturrahim tertutamanya ibu bapa dan keluarga.


Kita juga digalakkan bersahur seperti sabda Nabi yang bermaksud:

“Makanlah sahur, sekalipun dengan seteguk air.”
(Hadis riwayat Ibnu Hibban)

Waktu berbuka dan waktu sahur juga adalah salah satu waktu doa yang mustajab. Oleh yang demikian, maanfaatkanlah waktu bersahur dengan amalan-amalan sunat dan perbanyakkanlah doa memohon keampunan-Nya.

Bahawasanya bulan Ramadhan adalah bulan istimewa bulan yang penuh dengan keberkatan dan rahmat dari Allah s.w.t. Sebagai hambaNya,
hendaklah kita menyambut bulan puasa dengan cita-cita dan azam yang tinggi yang disertai dengan usaha untuk membanyakkan ibadah samada siang atau malam hari dengan niat ikhlas kerana Allah dan kemahuan hendak melatih diri serta mensucikan jiwa serta mengharap keredhaanNya.
Bulan Ramadhan adalah bulan pendidikan dan latihan untuk menjadi hambaNya yang bukan sahaja beriman malahan bertaqwa. Maka janganlah kita sia-siakan bulan yang penuh berkat ini. Anggaplah bulan Ramadhan sebagai landasan kita untuk ke SyurgaNya dan amal ibadat sebagai tiketnya. Semoga Ramadhan kali ini lebih bermakna dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita yang lalu..aminn...

Rabu, 5 Mei 2010

‘Keenam’ Itu Urusan Islam

oleh Ust Hasrizal Abd Jamil

www.saifulislam.com


“Habis, sebenarnya benda ni al-Asmaa’ al-Khamsah atau al-Asmaa’ al-Sittah?” saya menggaru kepala.

“Ulama berbeza pendapat dalam hal ini,” kata Fazdi.

“Dalam Fiqh sudah ada banyak khilaf, dalam Bahasa Arab pun sama juga ya?” saya bertanya.

“Tentulah. Ada Mazhab Kufah, ada Mazhab Basrah” jawab cikgu Bahasa Arab kami itu.

Petang itu kami berbual-bual di halaman masjid selepas Solat Asar. Angin petang bertiup sepoi-sepoi bahasa membawa aroma padang pasir yang mendamaikan. Kami masih di awal perjalanan pengajian di bumi Mu’tah. Siang tadi, kelas Bahasa Arab 101 terisi dengan perbincangan berkenaan dengan sekumpulan 5 Ism yang dihukumkan Marfu’ dengan huruf Wau menggantikan Dhammah.

Tetapi apa yang uniknya ialah, sebahagian ulama’ menamakan rangkaian Ism itu sebagai ISM YANG LIMA (al-Asmaa’ al-Khamsah) manakala sebahagian yang lain pula menamakannya sebagai ISM YANG ENAM (al-Asmaa’ al-Sittah).

“Kata Dr. Yusuf al-Qammaz, selain perkataan Ab, Akh, Ham, Fu dan Dzu, perkataan yang keenam itu digugurkan atas pelbagai sebab. Kalimah keenam iaitu Hanu dicicirkan kerana maksudnya agak mengaibkan. Ia bermaksud kemaluan. Anggota sulit orang perempuan, juga lelaki” saya cuba mengingati kembali apa yang diajar di kelas.

Itulah penerangan yang diberikan oleh pensyarah kami di kelas tadi. Disebabkan oleh makna dan kaedah penggunaannya di dalam Bahasa Arab, hingga timbul khilaf pada melakukan I’rab dengan Harakat atau Huruf, maka Ulama’ Nahu juga berselisih pendapat pada memasuk atau mengecualikannya. Al-Farra’ dan al-Zajjaaji menggugurkannya, manakala Sibaweih pula menyertakannya.


BERSOPAN MALU DI DALAM ILMU

Namun apa yang lekat di kepala saya adalah suasana adab dalam majlis ilmu apabila perkataan sedemikian rupa disebut secara berlapik. Malah dengan justifikasi Ulama Nahu, ada yang sampai menggugurkan perkataan itu kerana penggunaannya yang tidak begitu diperlukan di dalam ayat-ayat Bahasa Arab.

Itulah sifat malu.

Mencegah daripada menyebut perkataan yang merujuk kepada anggota sulit berulang-ulang kali di dalam pengajian, bukan atas faktor-faktor yang negatif jika dinegatifkan, malah juga untuk ‘menghormati’nya. Menghormati dalam erti kata tidak melucahkan atau menjadikannya bahan senda gurauan manusia yang rendah akal.


MENGHORMATI SEKS DENGAN SIFAT MALU

Fahamkah masyarakat dengan persoalan ini jika perbuatan mencarut sudah menjadi kebiasaan?

Apatah lagi, apa yang dicarutkan itu adalah hakikatnya anggota sulit seorang wanita yang amat terhormat.

Di situlah bermulanya asal kejadian seorang manusia.

Di situ jugalah tempat berpindah seorang manusia daripada Alam Rahim ke Alam Dunia.

Kenapa dicarutkan ia?

Di suatu ketika, perbuatan mencarut dengan perkataan-perkataan yang menjadi kotor dan lucah itu adalah permainan bahasa manusia yang rendah akal. Mereka bergurau tentang faraj, tentang zakar, tentang seks dan menjadikannya sebagai gurauan harian hingga SEKS MENJADI MURAH. Malah tanpa disedari, apa yang diguraukan itu adalah hal yang bersangkutan dengan ibunya, isterinya, anak perempuannya, adik perempuannya dan ibu saudaranya.

Tetapi perbuatan melucahkan seks dan menjadikan ia bahan senda gurau, bukan lagi simbol rendah pendidikan atau taraf sosial, malah golongan cerdik pandai, doktor pakar dan tidak ketinggalan para agamawan, turut terbabit sama. Tatkala menyebut perkataan-perkataan kotor dan cela itu menjadi kebiasaan, ia sebenarnya menghakis rasa hormat kita kepada SEKS, malah kepada PERKAHWINAN dan INSTITUSI RUMAHTANGGA itu sendiri. Justeru tidak hairanlah pelbagai kepincangan berlaku akibat daripada pandangan yang begitu rendah oleh kita semua terhadap SEKS yang hakikatnya adalah IBADAH yang dimuliakan agama.

Agama memperkenalkan perkataan-perkataan yang mampu mengekalkan konotasi ilmu yang positif tatkala mengungkapkan tentang kemaluan lelaki dan perempuan di dalam pertuturan. Kalimah FARAJ dan ZAKAR boleh digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik. Namun kalimah ini semakin asing di bibir dan telinga masyarakat kerana kata-kata gantinya lebih meniti di bibir sebagai gurau senda libido manusia yang dirasuk nafsu dan Syaitan.

Lebih teruk kita merendah-rendahkan SEKS, lebih liarlah seks itu terjadi. Semakin liar seks, semakin sukarlah kerukunan rumahtangga boleh dipelihara. Seks yang asalnya bertujuan menyalurkan naluri kemanusiaan berubah menjadi lempias kebinatangan.

Daripada Ibn Masoud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam telah bersabda: Sesungguhnya di antara perkara yang diketahui oleh sekalian manusia daripada kalam nukilan Kenabian ialah: Jika kamu sudah tiada rasa malu, maka buat sahajalah apa yang kamu suka! [Hadith riwayat al-Bukhari]

Seks lebih memberikan rasa bahagia, jika ia dihormati.

Seks adalah Ibadah.

Kelumpuhan iman, menjadikannya lucah.


ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

Ahad, 25 April 2010

Biar Lambat Asalkan Mantap?


Kualitikah yang kita mahu? Atau kuantiti yang kita korbankan demi menjustifikasikan longlai dan lemah amal kita? Kadangkala kita melihat amal dakwah agak lemah. Di suatu tempat hanya ada beberapa kerat da'I dengan mad'u yang melambak-lambak. Di banyak tempat pula da'Inya lebih ramai dari mad'u. Apa yang telah terjadi sebenarnya? Kerap kali bila di tanya:

Kenapa tak agresifkan dakwah?
Kenapa tak lajukan?
Kenapa tak bertambah tambah?


Jawapan standard dan biasa ialah:
kita perlukan kualiti, bukannya kuantiti. Tak bacakah buku muntalaq, `fokus bukan meramaikan'? Yang penting kita membina orang yang bermutu, bukannya ramai…

Retorik dan kaedahnya betul. Tapi banyak yang perlu dihalusi. Dakwah, gerakan jahiliyyah, penggunaan masa dan fikiran kita, pen'takwinan' mad'u dll.

Adakah betul kita telah kehabisan tenaga demi untuk membina dan mentakwin orang yang telah menyerahkan diri untuk ditarbiyyah? Atau kita kehabisan stamina kerana kurang bergerak, sehingga kita tidak mampu bergerak lebih dari membawa satu group halaqah mingguan? Kerana kita terlalu ramaikah sehingga anak-anak mutarabbi kita tidak terjaga?

Jika mutarabbi kita telah mantap kita bina, kenapa mereka tidak mampu untuk membina anak-anak mutarabbi baru? Bagaimana nilai mutu mutarabbi kita jika mereka hanya berlegar di dalam bilangan yang sama selepas bertahun.

Jahiliyyah tidak pernah diam. Mereka bergerak siang dan malam. TV, radio, majalah, internet bergerak mencari `mad'u' baru mereka. Ini tidak lagi di kira penjual syabu dan wanita di tepian jalan. Mereka mendapat ratusan pelanggan baru pada setiap hari… Sedangkan kita masih ber'heppi' dengan angka satu grup usrah seminggu. Malah, kadangnya bolong..

Bila kelihatan ada orang yang agak laju bergerak, agresif kerja mentajmik dan men'takwin', kita kemungkinan juga memberi justifikasi untuk diri sendiri : buat apa laju-laju dan ramai, tapi tak tahan lama dan tak bermutu! Tapi apakah manusia yang kita bina tahan lama dan bermutu? apa ukuran laju dan lambat? Jika kita berjalan kaki, memang kita katakan kepada orang berbasikal itu laju. Tapi yang berbasikal sebenarnya masih lambat di bandingkan dengan yang berkereta atau ber'jet'. Jadi siapa yang merasai orang lain itu terlalu laju sebenarnya patut meneliti apa bandingan yang di pakainya. Jangan si pejalan kaki mengatakan yang berbasikal itu terlalu laju, sedangkan si berbasikal sebenarnya masih lambat dan slow berbanding jahiliyyah sekarang yang ber'jet' dan ber'roket'.



MOGA SLOWNYA KITA TIDAK MENJADI ALASAN UNTUK MARAH KEPADA SI LEBIH LAJU SEDIKIT DARI KITA YANG JUGA SEBENARNYA MASIH SLOW BERBANDING TUNTUTAN SEBENAR REALITI PERTARUNGAN SEMASA.


untuk Kita kepada KiTA...Jazakillah...

~kita hanyalah hamba~

Jumaat, 16 April 2010

Dan Berilah Peringatan

Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang..



"Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (az-Zariyat;55)


"Dan berilah amaran dengan Al-Quran itu kepada orang-orang yang merasa takut bahawa mereka akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (pada hari kiamat), (padahal) tiadalah bagi mereka pelindung dan tidak juga pemberi syafaat yang lain dari Allah, supaya mereka bertakwa." (al-An'am;51)


"Dan berilah amaran (wahai Muhammad) kepada manusia yang ingkar itu jangan mereka lupakan hari kiamat yang padanya mereka akan didatangi azab, kerana pada saat itu, orang-orang yang berlaku zalim akan merayu dengan berkata: Wahai Tuhan kami, (kembalikanlah kami ke dunia dan) berilah tempoh kepada kami hingga ke suatu masa yang dekat, supaya kami menyahut seruanMu (untuk mengesakanMu dan mentaati perintahMu) dan supaya kami menurut agama yang disampaikan oleh Rasul-rasul itu dan (rayuan mereka akan ditolak dengan dikatakan kepada mereka): Tidakkah kamu telah diberikan tempoh untuk berbuat demikian dan bukankah kamu telah bersumpah (semasa kamu dalam dunia) dahulu, bahawa keadaan kamu tidak akan mengalami sebarang perubahan?" (Ibrahim;44)


"Dan berilah amaran (wahai Muhammad) kepada mereka tentang (hari kiamat) yang dekat (masa datangnya), iaitu ketika hati seseorang merasa resah gelisah, kerana cemas takut, sambil masing-masing menahan perasaannya itu. (Pada saat itu) orang-orang yang zalim tidak akan mendapat seorang sahabatpun yang boleh membelanya, dan tidak akan mendapat pemberi syafaat yang diterima pertolongannya. " (Ghafir;18)


"Oleh itu, janganlah engkau menyangka Allah memungkiri janjiNya kepada Rasul-RasulNya; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Sedia Membalas (orang-orang yang menderhaka kepadaNya)." (Ibrahim;47)


"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,"
"Iaitu orang yang mendermakan hartanya pada masa senang dan susah, dan orang-orang yang menahan kemarahannya, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Dan (ingatlah), Allah mengasihi orang-orang yang berbuat perkara-perkara yang baik."
"Dan juga orang-orang yang apabila melakukan perbuatan yang keji, atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampun akan dosa mereka dan sememangnya tidak ada yang mengampunkan dosa-dosa melainkan Allah, dan mereka juga tidak meneruskan perbuatan keji yang mereka telah lakukan itu, sedang mereka mengatahui (akan salahnya dan akibatnya)."
"Orang-orang yang demikian sifatnya, balasannya ialah keampunan dari Tuhan mereka, dan Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya; dan yang demikian itulah sebaik-sebaik balasan (bagi) orang-orang yang beramal (soleh)." (Ali-Imran;133-136)


"Maka berilah peringatan (kepada manusia dan JANGANLAH BERDUKACITA kiranya ada yang MENOLAKNYA) Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan." (al-Ghasyiah;21)


waLLahu a'lam..


...setelah itu..
aku hanya mampu tersenyum..
ya Allah.. kurniakanlah yang tebaik untuk kami..

*senyum yang membawa kesedihan pada ku..
wahai diri, apabila kamu melihat suatu kemungkaran,
janganlah mengeji.. ambillah ibrah buat muhasabah diri..

~ Ibnu Zukefeli
Medan, Indonesia..

Khamis, 8 April 2010

Berpakaian dan Berhias

Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Tuhan Sekalian Alam..
dan selawat serta salam ke atas penghulu segala Nabi, Muhammad SAW,
dan kepada keluarga Baginda serta sahabat-sahabat Baginda sekalian..

"Maha suci Engkau (Ya Allah)! Kami tidak mempunyai pengetahuan selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau jualah Yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana."
(al-Baqarah;32)

Sahabat2 yang dirahmati Allah SWT..

Islam merupakan satu agama yang syumul (menyeluruh). Ia mencakupi seluruh aspek kehidupan, dari sekecil-kecil perkara seperti adab meludah, sehingga ke sebesar-besar perkara seperti urusan sosial, ekonomi dan kenegaraan.

sebagai pelengkap kepada kesyumulan Islam, Allah SWT memberikan satu perintah di dalam firmanNya :

"Wahai orang yang beriman! MASUKLAH kamu ke dalam agama Islam DENGAN SEPENUHNYA dan janganlah kamu mengikut jejak langkah syaitan." Sesungguhnya syaitan itu musoh kamu yang nyata."
(al-Baqarah;208)

Juga tidak ketinggalan, Islam menyentuh dan mengambil berat perihal Aurat Dan Berpakaian.

Sesungguhnya, saya yakin bahawa setiap dari kita sudah mengetahui akan batasan aurat kita, baik kita sebagai seorang muslim mahupun sebagai muslimat.

Maka, di kesempatan ini, saya tidak berhajat untuk menarik tema perbincangan kita ke arah itu. Apa yang ingin saya ketengahkan buat kali ini adalah untuk mengajak diri saya dan sahabat-sahabat sekalian untuk melihat isu ini dari sudut pandang yang berbeza.

.................................................................................

Sahabat-sahabat sekalian..
kita mengenakan pelbagai fesyen dan rekaan dalam berpakaian sehari-hari, samada bertujuan untuk ke kuliah, tempat kerja atau ke mana sekalipun. Dan, atas kehendak dan keputusan kitalah yang menentukan bagaimana cara kita berpakaiaan.

Cuba kita bayangkan, pada suatu hari datang seseorang kepada kita, lalu bertanya, "KENAPA KAMU BERPAKAIAN SEBEGINI?"

Saya yakin, jika kita berpakaian selari dengan tuntutan syara', yakni dengan menutup aurat secara sempurna dan menjauhi tabarruj (tidak make up dan sebagainya), maka dengan lapang hati kita mampu menyatakan " liLLahi ta'ala (KERANA ALLAH TA'ALA) dan dan kerana aku takut kepada Allah ", lalu pakaian itu menjadi ibadah kita kepada Allah SWT.

Namun, jika sebaliknya yang kita kerjakan, adakah mampu untuk kita nyatakan bahawa kita berpakaian kerana ALLAH SWT, Tuhan yang Menciptakan kita dan Menurunkan Syariat kepada kita..?

Mungkin ada yang berpendapat bahawa dia berpakaian sebegitu kerana sebagai perhiasan, untuk cantik dan segak dipandang dan supaya menjadi perhatian orang. Ya, tidak kita nafikan, memang ada yang menjadikan ini sebagai alasan.

Tetapi, cuba kita bayangkan jika, sosok individu yang bertanya kepada kita itu adalah Baginda, Nabi Muhammad SAW, adakah masih mampu untuk kita beralasan sedemikian? Jika kita didirikan di hadapan Baginda SAW,masih sanggupkah kita untuk "melaram"..?

ALLAH SWT berfirman dalam surah al-A'raf, ayat 26 yang bermaksud :

" Wahai anak-anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu (bahan-bahan untuk) PAKAIAN MENUTUP AURAT KAMU, dan PAKAIAN PERHIASAN; dan PAKAIAN YANG BERUPA TAKWA itulah SEBAIK-BAIKNYA. Yang demikian itu adalah dari tanda-tanda (limpah kurnia) Allah (dan rahmatNya kepada hamba-hambaNya) supaya mereka mengenangnya (dan bersyukur)."

Maka, hanya dengan berpakaian menurut syara' sahajalah membuatkan kita mampu untuk menyatakan kita berpakaian kerana Allah sekaligus menjadikan kita hamba yang Ikhlas; keranaNya.

dan, dengan menjadi mukhlisin (orang yang ikhlas), maka kita akan terselamat dari perangkap syaitan. Allah SWT merakam sumpah Iblis laknatuLLah di dalam al-Qur'an :

"Iblis berkata: Wahai Tuhanku! Kerana Engkau telah menjadikan daku sesat, (maka) demi sesungguhnya aku akan MEMPERELOKKAN SEGALA JENIS MAKSIAT kepada Adam dan zuriatnya di dunia ini dan aku akan MENYESATKAN MEREKA SEMUANYA. KECUALI di antara zuriat-zuriat Adam itu hamba-hambaMu yang IKHLAS."
(al-Hijr;39-40)


maka, di kesempatan ini, kerana sayangnya aku pada diriku, aku menyeru diri ini, dan kerana sayangnya aku kepada mu sahabat-sahabatku, dan rasa sayang ini kerana Allah, aku seru pada mu sahabat-sahabatku.. walau di mana kita berada, walau ke mana destinasi kita; ke kuliah, ke tempat kerja, hatta ke majlis DINNER sekalipun, ayuhlah kita patuh dan taat kepada perintahNya, sebagai lambang takutnya kita kepada Dia. Kerana, walau di mana pun kita, kita masih berpijak di bumi kepunyaanNya. Jangan kerana kufur kita akan nikmatNya, Allah datangkan azab kepada kita; yang mungkin bisa berupa GEMPA!!

Allah SWT berfirman :

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, nescaya Aku akan tambahi nikmatKu kepada kamu dan jika kamu KUFUR INGKAR maka sesungguhnya AZAB-KU AMATLAH PEDIH."
(Ibrahim,7)

ayuhlah.. suburkanlah rasa khauf (takut) kita kepada Allah.. dan suburkanlah rasa sayang kita kepada sahabat-sahabat kita.. sebarkan risalah ini.. semoga.. semakin bertambah sayang kita semua keranaNya..

Dari abu Hamzah, Anas Bin Malik RA, khadam kepada RasuluLLah berkata, RasuluLLah SAW bersabda,
"Tidak sempurna iman seseorang daripada kamu sehingga dia MENCINTAI SAUDARANYA sebagaimana dia MENCINTAI DIRINYA SENDIRI"
(HR Bukhari dan Muslim)

Segala kekhilafan dan salah bicara saya pohon keampunan kepada Allah SWT dan saya pinta kemaafan dari sahabat-sahabat sekalian.
Segala yang baik dan buruk itu datangnya dari ALLAH SWT, dan keburukan itu disandarkan kepada diri saya sebagai bukti saya hambaNya yang lemah.

"saksikanlah ya Allah, aku sudah sampaikan.."

Wallahu a'lam..

Catatan:

-Perkataan "ikhlas" didefinisikan oleh DBP sebagai (dengan) hati yg bersih dan jujur; suci hati; rela, dan ia selari dengan penggunaannya oleh kita sehari-hari.

Tetapi, menurut Islam, Ikhlas bermaksud mengerjakan sesuatu hanya kerana Allah SWT. Ya, Mutlak kerana Allah. Jadi, sebagai muslim dan mukmin, maka definisi menurut Islam lah yang lebih tepat untuk kita gunakan.

-Tabarruj ialah mendedahkan kecantikan rupa paras, sama ada kecantikan itu bahagian muka atau anggota-anggota badan yang lain. al-Bukhari RA ada berkata : "tabarruj, yaitu seseorang wanita yang memperlihatkan kecantikan rupa parasnya".

Firman Allah SWT ;

"Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu bertabarruj seperti bertabarrujnya wanita-wanita Jahiliah dahulu dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya...."
(al-Ahzab;33)

Tabarruj yang diharamkan :
- tabarruj di luar rumah dengan berhias bukan untuk suami.
- menggunakan alat-alat solek.
-mempercantikkan bibir, alis dan pipi.

Ibnu Zukefeli
2359 WIB , 08/04/2010
Medan, Indonesia

Isnin, 5 April 2010

April Fool : Antara Barat dan Keparat

by Ust Hasrizal Abdul Jamil @ Abu Saif

“Kawan saya ni memang hidup cara Barat. Biar pun baik hatinya, tapi akhirnya bercerai juga dengan isteri. Apa nasihat yang patut diberi kepada orang macam ni, ustaz?” tanya salah seorang hadirin dalam program ceramah saya.

“Hidup cara Barat itu tidak menjadi punca masalah, jika yang dimaksudkan itu ialah bercakap bahasa Inggeris, makan makanan Eropah atau berpakaian mengikut format orang sana,” saya cuba menyuluh perspektif.

Di Barat sendiri, jumlah mereka yang memeluk Islam cukup tinggi. Jika Islam bertentangan dengan Barat, tentu sulit untuk orang Barat menerima Islam.

“Maka apa yang diperlukan oleh sahabat tuan itu, ialah meninggalkan dosa-dosa yang dianggap Barat, serta menyuntik kesedaran tentang persoalan hidup ini untuk apa. Sebagaimana yang kita bincangkan sebentar tadi,” saya menyudahkan jawapan.

Seorang Barat yang memeluk Islam, akan terus bercakap bahasa Barat, makan makanan Barat, beribu bapakan orang Barat, beradik beradikkan manusia Barat, dan terus menjadi Muslim yang tulen di Negara Barat. Apa yang ditinggalkan hanyalah bahasa carut dalam kerosakan budaya Barat, makanan haram dalam hidangan Barat, dan mengenepikan perbezaan aqidah ibu bapa dan adik beradik dalam hubungan sosial. Itu sahaja.

Seseorang boleh menjadi moden tanpa perlu menjadi Barat. Seseorang itu juga boleh menjadi Barat tanpa perlu menjadi Keparat!

BARAT DAN KEPARAT

Ya, jika ahli politik seperti Ataturk keliru di antara proses modernisasi (modernization) dengan proses pembaratan (westernization), kita pula ramai yang keliru di antara Barat dengan Keparat.

Ramai yang cuba untuk meniru kehidupan Barat berubah menjadi Keparat. Malah kerana ‘yang mengikut’ selalunya lebih teruk dari ‘yang diikut’, kita menjadi lebih Keparat dari Barat. Entah kenapa, benda yang elok-elok dari Barat tidak hendak diikut. Yang busuk-busuk dan keparat itu juga yang didambakan.

Malah yang Kristian pun ramai juga yang keliru antara Kristian dan Barat. Kristian adalah agama yang lahir di Timur, tetapi ada pula yang bertaqlid dengan agama Kristian supaya ‘menjadi Barat’, malah memperalatkan agama Kristian untuk menjustifikasikan perbuatan keparat sesetengah mereka.

Kelemahan jati diri bangsa kita yang mengkeparatkan diri untuk kelihatan Barat, menyebabkan saya hilang upaya untuk mengulas tentang budaya April Fool. Tidak perlulah dibahas-bahaskan sangat latar belakang sejarahnya, mana yang betul, mana yang salah. Huraian tentang sejarah April Fool itu sendiri pun banyak yang fool.

Jelasnya ia fool!

Terungkap pada sabda Nabi SAW:

“Kamu akan mengikuti sunnah umat sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehinggakan jika mereka memasuki lubang biawak (dhab) nescaya kamu akan mengikuti mereka. Sahabat bertanya: Adakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani, wahai Rasulullah? Sabda Baginda SAW: Ya, siapa lagi kalau bukan mereka?” - [Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim]


ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 Ampang


Selasa, 16 Mac 2010

Kenapa Berbeza Pendapat?

by Ust. Zaharuddin Abd Rahman

Ada yang keliru melihat pelbagai fatwa dan pandangan ulama diberikan dalam stau-satu isu, sama ada isu yang melibatkan cabang aqidah, lebih lagi dalam isu hukum ibadah, muamalat dan sebagainya. Lebih mendukacitakan terdapat yang begitu 'tidak faham' atau sengaja 'buat-buat tidak faham' sehingga ke peringkat menuduh para ulama mencipta hukum halal dan haram menurut nafsu dan kehendak mereka sendiri, puak ini bukan sahaja menuduh dengan tuduhan sedemikian, malah menjustifikasikan tuduhan mereka dengan mengatakan mengatakan ulama ini telah mencabuli hak Allah yang boleh menetapkan hukum.

Kecetekan ilmu khususnya berkenaan Fiqh dan Usul Fiqh serta peranan dan tugas para ilmuan Islam adalah antara punca tuduhan liar sedemikian berlaku. Kejahilan ini menyebabkan ada sebahagian mereka mencerca ilmuan Islam sebagai 'ingin jadi tuhan' kerana mengharamkan sesuatu, khususnya apabila bertentangan dengan kesukaan mereka.

Memang benar, dalam Islam, seorang manusia tidak berhak untuk mengharam dan menghalalkan sesuatu, hanya Allah dan RasulNya yang menentukan. Hakikatnya para ilmuan Islam sama sekali TIDAK boleh mengharam dan menghalalkan sesuatu berdasarkan nafsu dan selera mereka, malah mereka hanya menuruti garis panduan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya, melalui kefahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, Hadis Nabi dan segala jenis tafsirnya berdasarkan konteks bahasa, sebab turun, konteks masa dan setempat dan lain-lain.

Selain itu, sebahagian kumpulan manusia yang lain pula keliru dan lebih suka mencela para ilmuan Islam disebabkan perbezaan pandangan mereka dalam sesuatu isu. Mereka dituduh tidak konsisten, mengelirukan dan pelbagai lagi. Lebih buruk, apabila orang awam ini merasakan pandangan mereka yang tidak didasari ilmu itu disangka lebih benar lalu mula mencerca imuan Islam yang tidak disukai mereka atau kesemuanya sekaligus.

Sebenarnya perbezaan ijtihad dalam hal ehwal hukum ini telah wujud sebelum imam-imam mazhab empat lagi, ia sudah pun bermula ketika hayat baginda nabi Muhammad s.a.w lagi. Terlalu banyak sebab dan punca kepada perbezaaan ini dan ia bukanlah sesuatu yang negatif sekiranya dapat difahami asasnya. Ia hanya akan menjadi negatif apabila orang ramai tidak memahaminya, taksub kepada sesuatu pandangan serta tidak pandai mengendalikannya. Di ruangan terhad ini saya ingin memberikan beberapa contoh sebab perbezaan itu berlaku, sejak zaman hayat Rasulullah s.a.w lagi, antaranya :-

SEBAB PERTAMA : ARAHAN NABI YANG BERBEZA UNTUK INDIVIDU TERTENTU

Sebagai contoh dalam isu fiqh ibadah, Imam Muslim meriwayatkan terdapat sahabat yang cacat pengelihatan mengatakan "Aku tidak punyai pemandu untuk ke masjid bagi solat berjemaah, maka berilah aku keizinan untuk menunaikannya di rumah sahaja" lalu baginda Nabi memberikannya izin.

Namun, apabila baginda mengetahui sahabat tersebut menetap berhampiran masjid sehingga boleh mendengar laungan azan, baginda menarik semula keizinannya.( Sohih Muslim, no 1486 )

Walaupun begitu, pernah diriwayatkan Nabi pernah memberi keizinan kepada seorang sahabat yang lain bernama 'Itban bin Malik, tanpa ditarik semula keizinan. ( Sohih Muslim, no 1496).

Kedua-dua arahan mempunyai latarbelakang kisah yang tersendiri. Maka para ulama mempunyai pendirian berbeza dalam menangapi kedua peristiwa ini sehingag memberi kesan kepada ijtihad dan cara mereka meletakkan hukum. Lalu perbezaan pendapat tersebar.

Begitu juga halnya Nabi pernah memberikan izin kepada Abu Bakar as-Siddiq untuk mendermakan keseluruhan hartanya, sedang nabi tidak mengizinkan seorang sahabat lain untuk melakukan hal yang sama. (Riwayat Abu Daud, no 1678 dan no 3319) Kedua-dua kes contoh ini bukan merupakan kes terpencil malah ia berlaku dalam kekerapan yang banyak.

Ia jelas menunjukkan Nabi memberikan arahan dan keputusan berbeza kepada orang yang berbeza. Kebiasaannya ia mempunyai hubung kait dengan latar belakang individu yang bertanya. Atas sebab ini, muncul ulama yang memberikan fatwa berbeza, disebabkan perbezaaan dalam mengambil dalil dan memahami konteksnya.

Jika ingin difahami, sebahagian ulama berpendapat bahawa Nabi membenarkan Abu Bakar as-Siddiq r.a menyedeqahkan keseluruhan hartanya kerana baginda mempunyai keyakinan terhadap keimanan Abu Bakar r.a, di samping yakin Abu Bakar mampu untuk terus istiqamah dengan Islam, tanpa memeinta-minta bantuan dari baginda Rasul, walau dalam keadaan seluruh harta telah disedeqah. Namun keyakinan yang sama tiada bagi individu yang kedua, menyebabkan nabi melarangnya. (The Differences of Imam, Syeikh Zakariyya An-Kandahlawi, White Thread Press, London, 2004, p. 22)

Sama keadaannya dalam kes sahabat bernama Hamza Ibn 'Amr Al-Aslami, beliau sudah terkenal dengan amalan berpuasa banyak. Tatkala beliau ingin bermusafir, beliau bertanya kepada Nabi, baginda menjawab:

Ertinya : "Kamu bebas sama ada untuk berpuasa atau berbuka" ( Al-Bukhari, no 1943)

Sedangkan dalam hadis lain, Nabi pernah menyebut :

Ertinya : " Tiada sebarang kebaikan untuk mengekalkan puasa tatkala dalam perjalan jauh" ( Muslim, no 2612 )

Kita dapat melihat, perbezaan fatwa dan ijtihad pasti wujud disebabkan dua arahan Nabi yang berbeza dalam dua situasi yang juga berbeza. Tentunya, kumpulan sahabat yang mengetahui dan mendengar jawapan Nabi kepada Hamza berbeza dengan kumpulan yang mendengar baginda di ketika melarang. Hasilnya, masing-masing akan membawa dan menyebarkan apa yang didengarinya kepada orang lain dan berterusan. Akhirnya, akan dapat dilihat dua hukum dalam satu isu.

Atas dasar itu, terzahir peranan, keperluan kepada kebijaksanaan dan kajian mendalam oleh para ulama dan ahli fiqh, iaitu bagi menentukan hukum yang lebih tepat bagi situasi yang berada di hadapannya, diwaktunya dan negaranya. Mereka akan menentukan sumber rujukan hadis dan latar di sebalik hadis terbabit, bagi mengeluarkan jawapan hukum yang paling sesuai bagi keadaannya.

SEBAB KEDUA : ARAHAN KHUSUS DILIHAT SEBAGAI ARAHAN UMUM

Terdapat juga ketikanya, Nabi s.a.w memberikan arahan khusus bagi individu tertentu, namun ia didengari oleh sahabat yang lain lalu menganggapnya sebagai arahan umum buat semu lalu menyebarkannya. sebagai contoh : -

Ibn Umar meriwayatkan bahawa nabi bersabda :

Ertinya : Mereka yang mati akan diazab kerana ratapan si hidup ( Al-Bukhari, no 1287 )

Isteri baginda Nabi s.a.w, 'Aisyah r.a menolak kandungan hadis ini dengan berpendapat ia adalah kes khusus untuk seorang wanita Yahudi sahaja. ( Al-Bukhari, no 1289 ) Aisyah juga membawakan ayat Al-Quran yang jelas menolak beban dosa si hidup ditanggung oleh si mati. Ini adalah satu kes yang jelas bagaimana arahan Nabi boleh dianggap oleh sekelompok ulama sebagai khusus, manakala yang lain mengambilnya sebagai umum untuk semua.

Selain itu juga berlaku kes, seorang sahabat nabi yang miskin bernama Sulayk al-Ghartafani, memasuki masjid di ketika khutbah sedang berjalan, Nabi s.a.w mengarahkannya untuk menunaikan solat tahiyyatul masjid dua rakaat terlebih dahulu. (Sohih Muslim, no 2023)

Terdapat ulama yang memahami arahan Nabi itu sebenarnya adalah khusus untuk sahabat miskin ini sahaja, ia adalah kerana Nabi inginkan para sahabat yang lain dapat melihat tahap kemiskinan sahabat tersebut (sewaktu beliau solat), seterusnya tergerak untuk membantunya kelak. Atas keyakinan ini, mazhab Hanafi melarang sesiapa solat tahiyyatul masjid ketika khatib sedang berkhutbah. Fatwa tersebut berbeza dengan beberapa mazhab lain yang menggangap kebenaran tersebut adalah untuk semua umat Islam dan umum bukan khas untuk seorang sahaja.

Para sahabat Nabi yang berada di masjid ketika itu juga mempunyai perspektif berbeza terhadap arahan Nabi itu, lalu ada yang meriwayatkannya tanpa dikhusukan kepada apa-apa kes tertentu manakala ada yang memahami sebaliknya. Hasilnya, perbezaan pendapat dan ijtihad berlaku, sama ada di kalangan sahabat sendiri dan tentunya di zaman selepas itu.

Ibn Qutaybah di dalam kitabnya Ta'wil Mukhtalaf al-Hadis pernah membawakan kata-kata sahabat Imran al-Husayn ertinya :-

"Demi Allah, aku sedar aku boleh meriwayatkan cukup banyak hadis jika aku ingin, namun amalan yang dilakukan oleh kebanyakan sahabat menghalangku dari melakukannya...sepengetahuanku terdapat kekurangan (kurang tepat) dalam sebahagian penyampaian mereka."

Atas dasar ini, Khalifah Umar al-Khattab semasa pemerintahannya, melarang para sahabat meriwayatkan hadis dalam kadar yang terlalu banyak kerana dibimbangi ketidakfahaman mereka serta latar belakang mereka selaku para sahabat yang agak jauh dari Nabi serta kurang pakar dalam bab hukum, lalu boleh menyebabkan kefahaman mereka tersasar dari konteks sebenar lalu menambah kusut dan keliru. Atas sebab itu, kita dapat melihat hanya beberapa orang sahabat sahaja yang banyak meriwayatkan hadis seperti Abu Hurairah, Aisyah sendiri dan beberapa yang lain. Itu pun sekadar sukar untuk melebihi 5,000 hadis. (Tazkiratul Huffadz, Imam Shamsuddin Az-Zahabi, 1/7)

KETIGA : PERBEZAAN KEFAHAMAN DAN PERSEPI

Agak kerap juga berlaku, sesuatu ibadah nabi dilihat oleh ramai sahabat di waktu-waktu yang berlainan. Keadaan ini menghasilkan kefahaman yang berbeza-beza terhadap apa yang perlu dilakukan.

Sebagai contoh, di ketika nabi s.a.w menunaikan Haji, sebahagian sahabat mengatakan nabi melaksanakan Haji Ifrad kerana beliau mendengar nabi menyebut "Labbayka bi hajjatin" ertinya (Aku mempersembahkan diriku untukMu, Wahai Allah untuk melaksanakan haji" (Sunan an-Nasaiae dan Al-Bayhaqi, no 8830)

Ramai ahli hadis mengatakan jalur periwayatan hadis ini adalah sohih, namun begitu sebahagian sahabat lain pula meriwayatkan bahawa nabi melaksanakan Haji Qiran (Rujuk Sohih al-Bukhari, no 1563 ; Muslim no 2995)

Kedua-dua periwayatan ini kelihatan bertembung kerana kedua-dua jenis Haji adalah berlainan antara satu sama lain. Masalah membesar apabila haji Qiran juga boleh dimulakan dengan lafaz yang sama. Di ketika itulah wujudnya peranan ulama Mujtahid sama ada dari kalangan sahabat Nabi atau selepasnya. Mereka bertanggungjawab untuk mengharmonikan nas-nas yang kelihatan bertembung ini dan menjelaskan kekeliruan.

Sa'id Ibn Jubayr seorang ulama besar di kalangan tabien, pernah menegaskan kekeliruan seperti ini kerap berlaku sebagai contoh, ketika nabi berada di Miqat di dhul khulayfa untuk memulakan ihram, baginda menunaikan solat sunat dua rakaat di dalam masjid dan memulakan ihramnya. Maka sebahagian sahabat yang dapat melihat perlakuan nabi itu, kemudiannya ketika Nabi menaiki untanya, dan sewaktu unta ingin bergerak Nabi menyebut "labbayk" , di ketika itu sudah pasti ramai yang berada di sekeliling Nabi dan mendengar baginda melafazkan kalimah itu.

Di sebabkan ramainya sahabat di sekeliling baginda, maka tidak semua dapat mendengar dengan jelas, kemudian, di ketika nabi berada di punca Bayda, sekali lagi baginda melafazkan Labbayk secara kuat. Semua sahabat yang mendengar pada setiap kali nabi mengucapkannya akan mempunyai persepsi yang berbeza dengan yang lain, kerana ada yang mendengar buat pertama kali dan ada yang mendengar buat kali ketiga dan kedua. Keadaan itu adakalanya boleh menyebabkan perbezaan dalam meyimpulkan hukum dan sunnah.

Abdullah ibn Abbas adalah antara yang mendapat gambaran paling jelas tentang tatacara nabi menunaikan haji, beliau dikira sebagai salah seorang ulama mujthad di kalangan sahabat yang perlu diriujuk bagi mendapatkan penjelasan dan panduan yang tepat.

Selepas zaman sahabat, para ulama mujtahid sentiasa mempunyai maklumat yang lebih jelas, namun begitu, ia tidak dapat mengelak dari perbezaan persepsi yang akhirnya membawa kepada kesimpulan hukum yang berbeza.

KEEMPAT : SATU PERKATAAN YANG MEMPUNYAI PELBAGAI MAKSUD

Sudah menjadi kebiasaan dalam apa jua bahasa, satu perkataan boleh sahaja mempunyai dua tiga atau lebih maksud. Sama ada perbezaan itu berdasarkan bahasa rasmi dan persuratan ataupun terpenegaruh oleh dialek setempat.

Dalam hal ini, perkataan wudhu adalah jelas merupakan perbuatan ibadah khusus untuk menunaikan solat dan memegang Al-Quran. Namun begitu, dari sudut bahasanya, wudhu juga membawa maksud membersih dan membasuh tangan dan boleh membawa maskud wudhu pada istilah ibadah.

Imam At-Tirmidzi menyebut dalam kitab beliau Shamail, Seorang sahabat bernama Salman satu hari bertanya kepada Nabi, katanya menurut kitab Taurat, wudhu selepas makan boleh membawa berkat, lalu beliau meminta ulasan dari baginda Nabi. Nabi kemudiannya menjawab :

"Wudhu sebelum dan juga selepas makan adalah sumber keberkatan dalam makanan tersebut" (Shamail, no 186 )

Di dalam hadis yang disebutkan oleh Salman ini, majoriti ulama berpendapat lafaz 'wudhu' yang digunakan merujuk kepada erti asalnya iaitu basuhan tangan dan bukan wudhu pada istilah Fiqh (iaitu basuhan beserta niat bermula dari wajah dan seterusnya).

Demikian juga sebuah dalam situasi yang direkodkan oleh Bazzar, bahawa sahabat nabi Muadz r.a ditanya : Adakah kamu mengambil wudhu selepas menikmati makanan yang dibakar oleh api?? : Beliau menjawab : "Kami hanya membasuh tangan dan mulut sahaja" namun ia dilafazkan sebagai wudhu.

Keadaan ini menyebabkan para ulama mazhab boleh berbeza ijtihad dalam menentukan sama ada perlu berwudhu dalam bentuk ibadah khusus setiap kali selepas menikmati makanan yang dibakar di atas api atau hanya perlu membasuh mulut dan tangan?. Majoriti berpegang kepada erti wudhu secara bahasa iaitu basuhan sahaja, namun terdapat ulama yang berpandangan selainnya.

Bersandarkan kepada sebab-sebab yang dinyatakan di atas dan banyak lagi sebab yang lain, hukum di dalam pelbagai bab dan bidang hukum juga turut terkesan. Lalu muncul pandangan dan ijtihad yang berbeza dari seorang alim kepada yang lain.

Orang ramai tidak perlu merasa pelik dan susah hati dengannya. Apa yang perlu, serahkan urusan kepada mereka yang pakar dan ahli di dalam bidang mereka. Jika orang awam sudah mula berfatwa bersandarkan satu dua hadis atau ayat, dan kemudian merasa diri lebih benar dari kefahaman mendalam dan kajian khusus oleh para ilmuan, itulah tanda kehancuran akan mendatang.

Sekian

Zaharuddin Abd Rahman

http://www.zaharuddin.net/content/view/917/72/

9 Mac 2010


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...