Isnin, 25 Oktober 2010

Umar Bin Khattab dan Seorang Yahudi Tua

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.

Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.

“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.

Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan full wibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.

Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.

“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.

Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.

Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.

Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan sesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.

“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela si kakek.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.
Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.

Ahad, 24 Oktober 2010

Memuliakan tetamu(http://ii.islam.gov.my/hadith/hadith1.asp?keyID=782)

Hadith :
Dari abu Hurairah r.a katanya:”Rasulullah SAW bersabda:” Sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Dan sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, hendaklah dia memuliakan tetamunya. Dan sesiapa yang beriman dengan Allah dan hari kiamat, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
(Muslim)

Huraian
Tetamu, secara pasti datang dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam konteks inilah Allah dengan tegas membuat pertimbangan yang begitu besar agar memuliakan tetamu dan meletakkan nilainya sama dengan Beriman Kepada Allah dan Hari Kemudian (kiamat). Dengan perkataan lain seseorang itu belum disebut beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, selama ia tidak memuliakan tetamunya. Oleh itu apabila tetamu datang, bagaimana pun bentuk dan rupa tetamu itu, sama ada kaya, miskin, Islam ataupun kafir, Allah memerintahkan kita agar memuliakan mereka. Pernah diriwayatkan bahawa Nabi Sulaiman a.s pernah ditegur oleh Allah SWT, kerana pada saat baginda didatangi seorang tetamu dari kaum kafir, baginda tidak sepenuh hati memuliakan tetamunya itu. Baginda merasa tidak perlu memuliakan dan menghargai tetamunya seperti baginda memuliakan dan menghargai tetamunya dari sesama pengikutnya. ‘Disebabkan ia bukan umatku yang beriman’, begitulah fikir Nabi Sulaiman. Lantas baginda hanya memberinya minum dan bercakap seadanya. Setelah tetamu itu pulang, datanglah malaikat Jibril a.s menyampaikan teguran Allah: "Wahai Nabi Allah, Allah menegurmu, mengapa engkau perlakukan tetamu seperti itu ? Jawab nabi Sulaiman:”Bukankah dia (tetamu itu) dari golongan kafir?" Jibril bertanya:"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ini?" "Allah!" Jawab Nabi Sulaiman penuh yakin. "Siapakah yang menciptakan malaikat, jin dan manusia?" "Allah!" "Siapakah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan dan haiwan-haiwan?" "Allah!" "Siapakah yang menciptakan orang kafir itu?" "Allah!"
"Lalu, berhakkah engkau berlaku tidak adil terhadap ciptaan Allah? Sementara Allah adalah zat Yang Maha Adil?" Nabi Sulaiman a.s terdiam dan terus bersujud.
"Ya, Allah! Ampunilah hamba-Mu yang telah berbuat zalim ini." Kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu Allah:”Wahai nabi Allah, datangilah dan pohonlah kemaafan kepada orang itu. Ampunan Allah tergantung daripada kemaafannya.". Bergegaslah Nabi Sulaiman mencari tetamunya tadi. Setelah bertanya ke sana ke mari dan mencari-cari, ternyata, tetamunya itu sudah jauh berjalan meninggalkan kota. Nabi Sulaiman a.s dengan pantas mengejar tetamunya itu. Setelah bertemu, dan dengan nafas yang masih termengah-mengah, baginda berkata: "Saudara, tunggu...!" Tetamu tadi menoleh dan hairan melihat keadaan Nabi Sulaiman. "Kenapa?" "Saudara... sudikah engkau memaafkan perlakuan saya , ketika mana saudara menjadi tetamu di rumah saya tadi?" Orang itu diam. Dalam hatinya, sebenarnya dia merasa wajar diperlakukan seperti itu, kerana dia memang bukan termasuk di dalam golongan pengikut Nabi Sulaiman. Dia tidak menerima ajaran Tauhid yang dibawa oleh baginda. Tetapi dia terus juga bertanya: "Kenapa, wahai Sulaiman?" "Allah menegurku, setelah engkau pulang dari kediamanku."
"Allah? Siapakah dia?" Tetamu itu bertanya. "Allah adalah Tuhan, Tuhan Kami dan Tuhan Engkau, Yang menciptakan langit dan bumi, dan semua isinya. Dia yang menciptakan malaikat, jin dan manusia. Dia Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya."
"Lalu, kenapa Dia menegurmu?" "Allah menegurku, kerana aku sudah tidak berlaku adil terhadapmu. Aku tidak memuliakanmu. Allah yang Maha Kuasa selalu bersifat adil terhadap semua hamba dan ciptaan-Nya, mengapa aku berlaku tidak adil terhadapmu?"
"Sebegitukah Tuhanmu wahai Sulaiman, memperlakukan aku, walaupun aku bukan dari golonganmu?" Tetamu itu bertanya penuh taajub ."Iya...! Maafkan sikapku tadi wahai saudara, ampunan Allah tergantung dengan kemaafanmu" Nabi Sulaiman meminta.
"Saksikanlah, wahai Sulaiman! Asyhadu alla ilaa ha illallah, Wa anta Rasulullah!" Orang itu memeluk nabi Sulaiman a.s. Nabi Sulaiman pun memeluk tetamunya itu dengan penuh rasa terharu.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...